How dark pattern manipulate our life in the digital world

As the reflection from the course Digital Cultures, the existence of advanced technology is debating with both sides. The answer and example of this question have drawn a parallel with the…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Hari Rabu

Hari Rabu. 14 Juli. Jam 9 pagi. Kamar yang dingin. Aku terbangun dari tidurku. Tadi malam, aku hanya dapat beristirahat selama 3 jam. Pagi ini, kepalaku terasa seperti diputar-putar. Atau seperti sedang menaiki wahana komedi putar. Bangun pada jam 9 pagi ini tak lain adalah untuk mengikuti sebuah workshop yang akan dilaksanakan pada jam 10.30 nanti. Dibutuhkan waktu sekitar 10 menit bagiku untuk menyadarkan kesadaranku, dan melihat notifikasi di layar handphone-ku. “Ca, jidah gawat.”, kata Mamah melalui WA. Bingung, aku mencoba untuk mencerna apa maksud dari kata “gawat” tersebut.

Sebenarnya, bukan informasi baru tentang keadaan Jidah sekarang. Nenek ku, yang tinggal satu-satunya itu, sudah berusia 82 tahun. Senyumnya tak secerah ketika ia masih berusia 72 tahun, tubuhnya tidak lagi sesehat ketika ia masih berusia 52 tahun, suaranya tak lagi selantang ketika ia masih berusia 42 tahun, dan sayangnya, semangatnya tak lagi sebesar ketika ia masih berusia 32 tahun. Namun entah benarkah aku untuk beberapa hal di atas, karena aku hanya pernah berjumpa dengan beliau ketika usianya telah menginjak 62 tahun. Mungkin benar, mungkin keliru.

Selang 4 menit, aku mendengar teriakan namaku dengan suara Abah. Aku segera keluar, dengan muka sembab dan berantakan, begitu juga dengan rambut yang tak kalah berantakannya. “Mau ke rumah jidah. Caca ikut?” Abah bertanya. Sejujurnya, nada bicara yang aku dengar bukanlah seperti sebuah pertanyaan, melainkan sebuah perintah. Jam 9.30. Satu jam menjelang workshop, tiga jam menjelang kepergianku. “Gausah dulu deh, Bah. Caca ada workshop terus nanti siang mau ke kampus bentar”, kataku di ujung dekat tangga. “Kalau Jidah kenapa-kenapa, terus kekmana?”. Lagi, bukan terdengar seperti pertanyaan, namun kali ini lebih terdengar seperti ancaman. Aku terdiam mendengarnya. Bukan sedang berpikir untuk mencari alasan untuk menghindar, bukan karena merasa tidak memiliki jawaban, namun karena bingung. Aku bingung, kenapa semua orang terlihat seperti sangat yakin dengan apa yang mereka katakan.

Aku masuk ke kamar, dan kudengar mesin mobil diesel Abah melaju pergi menjauh dari rumah. Entah kenapa, perasaanku tidak enak. Perutku seperti ingin salto, jantungku seperti sedang menabuh, dan kepalaku, terasa ringan. Aku, adalah salah satu orang yang cukup percaya dengan intuisiku. Aku, adalah salah satu orang yang cukup “manut” dengan gut feelings-ku. Mengantongi kesadaran dan perasaan itu, aku bergegas mandi. Persetan dengan workshop hari ini, aku tidak mau menyesal dengan apapun yang akan terjadi nanti.

15 menit aku mandi dan bersiap, lalu tergesa-gesa melihat handphone. Disitulah jantungku terasa seperti terjun bebas. Pesan yang aku harap tidak akan pernah aku lihat, berada tepat di kolom notifikasi WA di grup keluargaku. “Asw, anak2 jidah sdh meninggal” kata Mamah. Tak lama setelah itu, masuk pesan pribadi dari Mamah yang mengatakan hal yang sama. Tanpa berpikir panjang, aku segera bergegas untuk pergi ke sana. Tidak ada satu pesan pun yang kubuka, terlebih kubalas. Setelah mengunci semua pintu-pintu, aku segera menyetir menjauh dari rumah.

Beberapa kali, ada dering panggilan masuk yang tidak kuhiraukan. Aku bukan orang baik, tapi aku adalah pengemudi yang cukup baik. Setidaknya menurutku. Dengan keadaan pikiran dan panik yang ada, menjawab panggilan masuk hanya akan memecah konsentrasi sekaligus menambah pikiran yang dapat berujung aku harus mengeluarkan biaya untuk mengganti bumper depan mobil, rabin body yang terkena gores, dan ganti rugi terhadap siapapun yang cukup naas untuk berada di dekatku waktu itu. Tapi untung saja imajinasi barusan tidak benar-benar terjadi. Dan juga, microphone di HP ku rusak. Sangat tidak mungkin bagiku untuk bisa mengangkat panggilan siapapun.

Biasanya, butuh waktu sekitar 15–20 menit menyetir untuk sampai ke rumah almarhumah. Siang ini, aku hanya membutuhkan 10 menit. Teman-temanku tau, aku cukup hebat dalam memangkas lama waktu menyetir jika terdesak dan dibutuhkan. Mengenyampingkan ramainya jalanan, bisa saja 10 menit itu dipangkas lagi menjadi 7 menit, tapi itu bukan untuk kejadian hari ini karena apapun yang kukejar, sudah cukup terlambat. Terlambat, karena beliau sudah pergi. Terlambat, karena aku gagal untuk berada di sampingnya di saat-saat terakhirnya. Terlambat, karena apapun yang sudah pergi tidak akan dapat kembali lagi.

Sesampai di sana, belum terlalu banyak orang yang hadir. Namun, tenda-tenda sudah terpasang di tengah jalan. Aku memarkirkan mobil dimanapun yang bisa kuparkirkan, dan setengah berlari masuk ke rumah. Di ruang tengah itu kulihat, tubuhnya terletak di atas matras, ditutupi oleh kain-kain putih. Jidah. Benar-benar Jidah. Aneh, belum ada rasa sedih atau dorongan untuk menangis. Aku masuk ke kamar untuk meletakkan barang bawaanku. Setelah itu, semuanya terasa seperti tidak ada rasa. Sepupuku menangis setiap beberapa menit sekali. Aku memeluknya dan berusaha untuk menenangkannya. Jujur, entah apa yang membuatku bisa sekuat beberapa menit di awal kedatanganku. Aku hanya lebih banyak duduk terdiam memandangi orang-orang yang sibuk. Rasaku, tidak terlalu berasa apapun.

Tak lama, rumah semakin ramai dengan orang yang berdatangan. Tiba-tiba, Mama bertanya padaku, “mau ikut mandiin Jidah?”. Aku tidak tahu apa yang membuat orang enggan untuk memandikannya. Aku mengangguk, sambil terdiam. Mungkin, alam bawah sadarku masih berusaha untuk memproses semua kejadian ini. Sedikit pun tidak ada air mata yang kuseka. Setelah pengurus datang, aku berganti baju untuk bersiap memandikannya. Jujur lagi, aku tidak tahu apa yang nanti akan kulakukan. Apa aku yang akan memandikannya? Apa aku akan menggosok tubuhnya? Semua pertanyaan itu muncul di kepalaku.

Ketika memandikannya, aku bersama mama, tante-tanteku, dan penjaga Jidah. Aku memegang kakinya. Pada saat dikucurkan air di mukanya, aku melihat wajahnya. Tidak ada refleks menyerngitkan wajah. Ya, tentu saja. Ia sudah tiada. Hanya tubuh yang aku pegang. Tubuh yang dulu berjiwa dan bernyawa. Sembari aku membersihkan kaki-kakinya, aku kembali melihat dengan seksama tubuhnya. Tidak ada refleks, sama sekali. Setelah dipikir-pikir, mungkin benar aku belum memproses betul kepergiannya. Apa yang kuekspektasikan, harusnya tidak ada dari awal. Jika aku sudah benar-benar memproses kepergiannya, tidak akan mungkin aku mengekspektasikannya untuk tiba-tiba menyerngitkan wajah ketika air dingin disiram ke wajahnya. Tidak akan mungkin kaki dan tangannya bergerak sendiri ketika dipegang dalam arah yang tidak nyaman. Tidak akan mungkin dia melepehkan air kapur barus yang masuk ke mulutnya.

Setelah selesai, ia segera dikafankan. Lagi, tidak ada rasa yang aku rasa. Aku melihat semua orang sibuk dengan apa yang harus mereka lakukan, atau sibuk menangis. Aku seperti penonton, orang ketiga, pengawas, yang melihat semua kejadian. Sedikit muncul rasa terdisasosiasi dengan keadaan dan sekitarku. Setelah itu, tidak banyak yang kurasa. Semua cukup samar-samar. Aku hanya ingat aku menangis terisak-isak ketika aku memberikan sungkeman terakhir kepadanya. Setelah aku tahu sekarang, semua orang bingung mengapa aku membungkuk begitu lama di depan tubuh kakunya. Pada saat itu, aku teringat dengan waktu-waktu yang kami habiskan bersama. Bertiga, sebenarnya, dengan penjaganya. Bahkan, sepupu-sepupu dan tanteku mengira aku pingsan di tempat. Walaupun, mungkin aku tidak akan keberatan jika itu benar terjadi.

Selebihnya dari itu, waktu benar-benar tidak terasa. Aku bahkan tidak ingat apa yang kulakukan untuk menghabiskan waktu. Saat ia akan dibawa untuk dimakamkan, aku memilih untuk tidak ikut. Dan kalian tahu, betapa aneh dan surreal rasanya mendengar nama beliau dikumandangkan di toa dalam balut sebagai kabar dukacita. Aneh, sangat aneh. Ramai yang kurasa pada saat aku terduduk di kursi hijau, menunggu keberangkatan ambulans itu, tidak terasa ramai sama sekali. Aku seperti sedang terduduk di ruangan kecil, dengan dinding-dinding transparan, di tengah keramaian. Tidak, aku seperti tidak sedang merasa di situ, di satu ruangan yang sama dengan orang lain.

Tiba-tiba, hari sudah malam. Aku ingat aku dengan sepupuku membuat tiktok. Aneh memang. Aku bahkan tidak ingat dimana aku mengganti baju, kapan terakhir kali aku makan, dan bagaimana bisa keadaan tidak terasa aneh seperti siang sebelumnya. Sekarang, aku ingat bahwa aku belum makan apapun sampai malam tiba. Aku ingat, aku sempat pulang ke rumah untuk mandi dan mengganti baju. Dan aku ingat, keadaan tidak terasa aneh karena semua orang di sekitarku sudah cukup memproses keadaan. Malam pertama, terasa seperti malam-malam kami berkumpul seperti biasanya. Yang berbeda, hanya mata-mata yang bengkak, dan percakapan-percakapan yang tidak semeriah dari kumpul-kumpul seperti biasanya.

Entah apa yang terjadi dari siang sampai maghrib itu. Rasaku, aku tidak merasakan apa-apa. Tangisku, hanya seujung salam terakhirku. Dalam satu pengertian yang kini aku punya, rasaku ada cukup kelegaan. Kelegaan bahwa ia telah bebas dari sakitnya, dan sekarang telah kembali ke pelukan Njid, kakekku. Kelegaan bahwa tidak ada lagi kekhawatiran yang terus menggantung di pikiran kami semua. Kelegaan bahwa pada hari Rabu itu, kami semua telah merelakannya.

FIN <2

Add a comment

Related posts:

The Top 7 Mistakes I Learned From Hundreds of Entrepreneurs

I talk with entrepreneurs all the time — Startup founders and Innovators. We talk about successes and failures. We talk about their journey, their vision, what worked and what didn’t. I talk to both…

The Secret

Sitting with elegant attire a garland around my neck. Listening to the Scholar reciting the verse. Whole body was shivering of unknown fear, like the giant wave in the sea in silent atmosphere…

SWOT your way to success!

What is a SWOT Plan. SWOT stands for Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats. It is tool used in risk planning to identify and resolve any threats to a project or business. More often than…